KYAI RIFAI “THE POLYMATH” Komentar terhadap Buku Autobiografi Dr. Nurman Cholis
Sebut saja Ibnu Rusyd, satu di antara tokoh ilmuwan muslim yang masuk dlm katagori polymath. Selain filsafat, pemikirannya juga dikenal di dunia fiqh, aqidah, matematika kedokteran, biologi sampai dengan hadits. Karya dan pemikiranya masih bisa kita nikmati hari ini melalui kitab-kitab yang beliau tulis semasa hidupnya.
Tokoh menyejarah lainnya di dunia keilmuan Islam seperti Imam Al-Ghazali, Ibn Sina, Ibn Tufail, Alfarabi dan Albiruni, juga tidak kurang cinta dan luasnya ilmu pengetahuan yang hingga kini mengalir dan dipelajari banyak orang. Kesemua tokoh tersebut meninggalkan legacy bagi kita semua yang tak habis ditelan zaman.
“Polymath” dalam bahasa kita berarti seseorang yang pengetahuannya tidak terbatas hanya pada satu bidang. Beberapa tokoh tersebut di atas cukup mewakili kalangan polimatik dari para ilmuwan muslim. Sejarah mencatat, masa hidupnya dipersembahkan untuk menggali ilmu Allah swt yang Maha luas.
Tidak sedikit yang memilih hidup sengsara karena rasa haus yang luar biasa akan ilmu. Tentu saja aktivitas keilmuan mereka tidak berhenti pada ilmu itu sendiri, mereka gantungkan semua itu kepada makrifatullah, yakni ilmu yang membawa kepada mengenal dan cinta kepada Allah swt.
Mungkin bagi sebagian orang pendapat saya sangat berlebihan jika menahbiskan KH. Ahmad Rifai Arif (Kyai Rifa’i) sebagai tokoh polimatik modern asal Banten. Karena, jika pendapat saya benar, Kyai Rifai adalah figur polimatik pertama berkebangsaan Indonesia yang selama ini kita hanya disuguhi tokoh-tokoh dari Eropa dan Arab.
Namun tuturan kisah dan sejarah hidup Kyai Rifai yang pernah saya simak dari banyak pihak begitu beragam seperti mendesak saya untuk mendapuk Kyai Rifai sebagai sosok yang serba bisa. Saya menduga, itu semua berkat sikap open minded serta mujahadah beliau sehingga jejaknya bisa ditelisik dari berbagai pintu masuk ilmu pengetahuan dan pengalaman. Kedua hal tersebut kemudian beliau konkritkan dalam pendirian beberapa lembaga pendidikan yang hingga kini terus berkembang.
Sosok kyai gontorian ini dapat dipelajari dari berbagai sisi dan sudut pandang; Kyai Rifai sebagai pendidik, filsuf, ahli strategi, enterpreuner, arsitek, diplomat, organisatoris, linguist, dan seniman kaligrafi. Paparan tentang kemultidimensian Kyai Rifai sebagian besar dapat kita simak dalam buku “Kyai Entrepreuner” (2011) yang ditulis Dr. KH. Soleh, “Surabi Pesantren” (2017) karya KH. Adrian, dan “Menjawab Tantangan Zaman” (2008) karya Wahyuni Nafis.
Dalam catatan lainnya saya juga menemukan beliau sangat concern dengan kajian pengembangan sains dalam konteks desekularisasi ilmu pengetahuan terutama keterlibatan beliau pada jaringan epistemik ICMI, dakwah dan politik Islam terutama karena kedekatan beliau dengan tokoh DDII, Persis dan Masyumi, Mohammad Natsir. Dan terakhir, kali ini, saya menemukan sisi lain dari Kyai Rifai dari catatan autobiografi yang ditulis Dr. Nurman Kholis, saya biasa menyebut Kang Nurman.
Kyai Mistikus
Sebagai alumnus, Kang Nurman cukup berhasil menuangkan pengalaman hidupnya berguru kepada Kyai Rifai sejak tahun 1988 hingga 1994 dalam bukunya yang berjudul “Cikal, Dari Daar El-Qolam ke La Tansa Mengemban Amanah KH. Ahmad Rifai Arif”. Amat bermanfaat bagi alumni sealmamater yang ingin bernostalgia atau masyarakat umum yang ingin mengetahui ‘daleman’ pondok.
Meski buku ini sebagian besar berisi pengalaman pribadi penulis sewaktu mondok di dua pesantren besutan Kyai Rifai, namun saya menangkap pesan bahwa penulis ingin melekatkan ‘brand’ baru pada sang guru, yaitu seorang mistikus (penikmat alam mistik). Mistik dalam pengertian muroqobatullah, makrifatullah dan mahabbatullah, bukan klenik, khurafat atau takhoyyul.
Dalam bukunya tersebut, penulis yang juga pegiat dinar-dirham dan tokoh antagonis terhadap uang kertas, menyingkap sisi sufi Kyai Rifa’i pada, terutama, saat beliau memutuskan untuk merintis pembangunan pondok pesantren La Tansa di pelosok kabupaten Lebak Banten sebagai pengembangan dari Daar El Qolam.
Hingga akhirnya yakin memilih lembah lembab di bilangan Jatake Parakansantri Lebakgedong (dulu Cipanas) untuk pesantren keduanya, Kyai Rifai bersama tokoh masyarakat setempat sebelumnya melakukan survey ke beberapa lokasi sekitar. Seperti kita tahu bahwa approach kepada para tokoh masyarakat dan melibatkan mereka pada proses penentuan lahan adalah langkah pertama yang beliau lakukan sebelum memulai proses pembangunan.
Tidak seperti teknik sipil modern dalam menentukan kelayakan area pembangunan dengan seabreg teori-teorinya, Kyai Rifai, menurut penulis, hanya cukup dengan menggelar koran untuk beliau jadikan sajadah dan berwudhu dari air irigasi yang mengaliri lokasi dimana beliau singgah. Shalat sunnah, dzikir dan do’a on the spot adalah ritual yang kerap beliau lakukan, termasuk di lokasi tempat berdirinya La Tansa sekarang yang konon dikenal angker dan tempat kongkownya sekumpulan jin. Keangkeran ini sebagaimana cerita-cerita dan pengalaman masyarakat sekitar yang kebetulan saya sendiri tinggal tidak jauh dari lokasi tersebut.
Adalah sikap tawakkul Kyai Rifai atas ikhtiyar yang beliau lakukan dengan segala instrumen pendekatan kepada Sang Khaliq. Senjata ampuh yang kerap kali beliau gunakan untuk menjebol dinding penghalang cita-citanya adalah shalat hajat, istikhoroh, tahajjud dan tasyawur bersama kolega-koleganya. Sebetulnya ritual standar untuk ukuran seorang kyai yang sangat dekat dengan tirakat dunia gaib.
Mampu membuka rahasia Allah (mukasyafah) dengan kekuatan bashiroh sebagai resultan dari “kebersatuan” beliau dengan Sang Khaliq melalui wirid-wirid tertentu dan amaliyah ibadah syariah pada maqom hakikat. Namun konsistensi dan keikhlasannya yang kuat hingga setiap doa dan harapannya terkabulkan yang membuat terasa istimewa. Keistimewaan lainnya adalah Kyai Rifai seolah hendak menjawab ekspektasi masyarakat sekitar yang jauh sebelumnya meyakini bahwa di lokasi La Tansa sekarang akan berdiri jajaran “gedong hejo”.
Seperti pula dikisahkan oleh seorang ustadz yang pernah menemani beliau menginap di bangunan pertama La Tansa. Keadaan lokasi pembangunan La Tansa yang dikerubungi dua bukit saat itu masih berupa hamparan sawah dan jauh dari perkampungan. Sang ustadz menuturkan, di setiap sepertiga malam yang gelap beliau bangun untuk melaksanakan shalat dan bermunajat.
Saya berkesimpulan, selain fondasi fisik, beliau membangun pondok di atas fondasi metafisik yang kemudian membuat lembaga-lembaga yang beliau dirikan tumbuh, berkembang dan berbuah hingga sekarang dan insyaAllah ila yaumil qiyamah. Bukti bahwa doa mampu melintasi zaman dan melampaui ruang.
Hal lainnya yang menunjukkan kesufian Kyai Rifai dalam buku “Cikal” adalah adanya pengaruh sang ayah, Abah Qashad Mansur. Penulis menyebutkan jika trah sufisme Kyai Rifai berasal dari pendidikan Abah Qashad Masyur yang juga jama’ah tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah. Maka tidak heran bila warna sufi begitu melekat dalam diri Kyai Rifai walaupun beliau lama belajar lama di Gontor yang tidak begitu kentara pendidikan tashawwufnya.
Ada pula persaksian seorang tokoh/guru senior Daar El Qolam yang menuturkan bahwa semasa hidupnya Kyai Rifai mengamalkan wirid tertentu yang bertujuan untuk mengendalikan hujan. Kemampuan unik ini nyatanya sangat bermanfaat terutama karena sebagian besar kegiatan santri dilakukan di lapangan terbuka yang seringkali terkendala cuaca.
Saya kira demikian sekelumit komentar saya terhadap buku yang ditulis Kang Nurman. Buku perdana karya alumnus La Tansa yang membahas tentang Kyai Rifai yang juga penulisnya adalah alumnus pertama La Tansa. Khusus catatan sejarah kesufian Kyai Rifai, menurut saya, lebih dari cukup untuk dijadikan sebagai bukti permulaan bagi siapa saja yang ingin memperkaya khazanah pemikiran sufistik Kyai Rifai. Ada banyak kata kunci terserak di antara frasa yang penulis torehkan untuk membuka pintu masuk Rifai Studies.
Tentu kunci-kunci tersebut juga bergelantungan di dalam buku dan tuturan tokoh lainnya seputar kehidupan Sang Kyai Mumtaz. Untuk itu dapat dijadikan sebagai inspirasi bagi dilakukannya penelitian baru tentang sejarah kehidupan Kyai Rifai dari sisi lain yang belum terungkap sehingga pada saat yang sama dapat memperkuat tesis bahwa Kyai Rifai memang seorang polymath.
Wallahu a’lam bishshowab.
Penulis: Irman Sulaiman Fauzi